Kamis, 08 Oktober 2009

Refleksi Kehidupan

“Sebelum Embun itu Menetes”

Sebuah Refleksi dalam Sebuah Eksistensi untuk Belajar

Pernahkah aku…

Berpikir serius tentang Tuhan?

Percaya total kepada Tuhan?

Melayani sesama demi Tuhan?

Jika BELUM, Aku punya waktu 60 detik dari sekarang

untuk minta maaf kepada Tuhan.

Saat kata “maaf” itu selesai terucap,

Sesungguhnya,

60 tahun yang lalu…

Tuhan sudah berpikir keras untuk membuat aku selalu ingat Dia.

Tuhan sudah percaya total padaku dengan segala talenta yang dianugerahkan-Nya.

Tuhan siap melayani lewat kasih-Nya yang besar.

(Tuhan Tak Pernah Bohong!)


Begitulah untaian kata itu tergores di halaman-halaman awal buku harianku yang kuterima saat ulang tahun yang ke-27 dari seorang sahabat dan kekasih hati. Buku berwarna krem, warna kesukaanku, dan tampak kokoh dengan lingkaran kawat yang menyatukan halaman demi halaman itu. Buku itu pula yang selalu menjadi tempat curahan hatiku di saat suka maupun duka tatkala aku terus dan harus menelusuri lika-liku perjuangan hidup ini.


Kutulis untaian kata itu dalam keletihan yang mendalam. Aku letih dengan pikiranku, hatiku, dan tindakanku. Tak tahu mengapa, aku seperti merasa sendirian dalam keramaian. Gejolak itu begitu hebat menerpa benteng kekuatan diriku.


Tak biasanya, aku bisa terbaring begitu lama dan tak tertidur. Pikiranku terus menerawang menembus batas ruang dan waktu. Aku terbawa pada ilusi dan fantasi tentang keindahan dan kenikmatan duniawi. Aku sadar, hidup tak seindah ilusi dan fantasiku. Justru hidup ini seindah kita berhasil menikmati pahit getirnya hidup itu sendiri. Di sanalah ada makna dan inspirasi hidup. Manusia hidup dengan menuai makna akan hidup itu sendiri dan menjadi inspirasi untuk dirinya dan orang lain.


Aku tersadar dan bangkit dari pembaringanku. Kunyalakan lampu redup meja belajarku dan selalu kuteguk segelas air dingin. Sekejap kemudian aku temukan kekuatan hidupku, apa atau siapa? Tak terasa, aku mulai menggerakkan tanganku dan kutuliskan untaian kata-kata itu. Bukan lagi pikiranku yang berjalan, tetapi hatiku yang menggerakkan jiwa dan ragaku.


Aku tercengang dan kagum dengan goresan kata demi kata itu. Aku disadarkan pada kekuatan Sang Pencipta, pemilik alam semesta ini. Ya. Kadang aku tak pernah berpikir serius tentang Tuhan, percaya total pada-Nya, bahkan melayani sesama demi kemuliaan-Nya. Sebaliknya, Tuhan melakukan yang terbaik untukku jauh sebelum aku dilahirkan. Betapa besar kasih Tuhan padaku dan betapa malunya diriku pada-Nya.


Sejenak aku terdiam dan membiarkan semuanya berlalu tanpa campur tangan diriku. Masa laluku, impianku, dan segalanya tentang diriku berlalu begitu saja. Tak lagi kusetir dengan keperkasaan otakku, tetapi justru kusiapkan jalan baginya untuk menembus egoku. Semua berjalan seiring dengan dinginnya malam yang menembus aliran darah hidup ini.


“Tuhan Tak Pernah Bohong”. Itulah deretan kata yang akhirnya kutulis dengan spidol biru begitu indah ala graffiti. Ya. Tuhan tak pernah bohong pada diriku. Dia selalu menyertai aku dalam suka dan duka, seperti yang ada dalam sebuah cerita bijak tentang perjalanan di padang gurun. Tuhan menyertaiku dalam melewati padang gurun yang begitu panas dan menyengat serasa akan membakar diriku hidup-hidup. Bagaimana aku tahu Tuhan menyertaiku? Lihat saja, ada dua pasang telapak kaki, yakni satu pasang milikku dan yang lain milik Tuhan. Di saat kelelahan itu memuncak pada ketidakmampuan diriku untuk terus berjalan, tak juga kutemukan oase yang dapat menyegarkan tubuhku. Bahkan kulihat, hanya ada sepasang kaki saja. Aku merasa Tuhan meninggalkan aku. Tuhan Bohong.


Aku memberontak dengan Tuhan. Aku menuntut Tuhan laksana jaksa menuntut terdakwa dengan kata-kata bengis dan mata menanar merah. Kesombongan mulai menuntunku, “Lihatlah aku, aku tetap bisa berjalan tanpa-Mu!” Tiba-tiba seorang musafir mengatakan padaku, “Hai kisanak, berbahagialah engkau yang dikasihi Sang Pencipta. Dia tak meninggalkanmu tapi justru Dia menggendongmu”.


Benarkah? Aku mulai melihat sepasang telapak kaki di belakang itu. Ya. Itu bukan telapak kakiku, itu telapak kaki Tuhan. Mulai kusadari, aku tak ada apa-apanya jika tanpa Tuhan. Dia mengasihi aku tak mengenal batas, tetapi aku kadang melupakan dan menyangkal-Nya.


Suatu anugerah besar tatkala aku bisa memiliki malam dalam nyenyaknya tidur dan terjaga di pagi hari dengan hangatnya sang mentari. Itu bukan karena kehebatanku. Itu bukan karena jasa-jasaku. Dan itu bukan karena amal baikku. Tetapi, itu karena Tuhan baik padaku. Dia tak terlalu memperhitungkan amal dan dosaku. Dia ingin aku tidak hanya berjalan di padang gurun saja, tetapi di lembah, sungai, bebatuan, hutan, samudera yang luas, bahkan dia antara gedung-gedung pencekik nurani manusia. Tuhan ingin aku belajar dari alam semesta ini tiada henti. Aku percaya, Tuhan menyertai aku, Dia tak pernah bohong.


Sebelum embun itu menetes, sebelum tapakku tergambar dalam mozaik hidup ini, Tuhan telah melakukan segala sesuatunya baik adanya. Kini saatnya kita menapaki jalan hidup ini dan belajar akan arti hidup ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar